Jogja Dan Hal-hal Yang Sederhana.

Entri kali ini mungkin sudah lama kutulis dan cuma kupilih untuk tersimpan di draft. Sejujurnya aku merasakan tidak akan pernah ada waktu yang paling sesuai untuk entri ini diterbitkan.

Satu kerana halnya sudah lama.
Dua, kenapa perlu sekarang?

Dan ada dua pertanyaan yang turut mengiringi kenyataanku tadi.

Jadi?
Kenapa tidak?

Maka ini. Bukan untuk sekadar memenuhi postingan lain di Pohon Tulisan ini, bukan juga untuk sekadar merindukan. Mungkin boleh dibilang ia cuma semacam satu bentuk travelog biasa yang tidak dipenuhi gambar.



Jogjakarta adalah negeri yang menghilangkan ingatan kita tentang tanggal dan waktu. Ia seperti endemik aneh tetapi enak yang tidak bisa ditemukan di mana-mana kecuali di Jogja.

Terus-terang, Jogja tidak pernah sekalipun berhasil melewati fikiranku sebagai sebuah destinasi yang bisa kujejakkan kaki. Aku cuma tahu satu hari nanti, aku pasti akan ke Indonesia. Tidak kira manapun tempatnya.



Mungkin bisa dibilang Ada Apa Dengan Cinta 2 adalah perantaraku dan Jogja. Tetapi Cinta dan Rangga saja belum cukup menghadirkan Jogja sebagai sosok yang sentiasa kurindukan, sehinggalah aku sendiri berdiri di hadapan bandara Adisutjipto untuk terbang kembali ke Malaysia.




Jogja Jogja, Jogja istimewa
Istimewa negerinya istimewa orangnya


Mendengar bait rangkap lagu ini membuatkanku mengakui bahwa tidak ada satu pelusuk pun yang aku tinggalkan di Jogja bisa kuciptakan di tempat lain. Nuansa, suasana, dan keramahan penduduknya membuatkan Jogja memiliki kekayaan dalam kesederhanaan bersama.

"Jika Jogja terkenal dengan makanannya nasi gudeg, maka minumannya ini, wedang ronde," ujar mbak-mbak yang menjual makanan dan minuman saat aku berjalan berseorangan di sepanjang lesehan di Alun-alun Selatan. 

Pertama kali ke sana, sebagai rakyat Malaysia, terus-terang ada sedikit rasa takut untuk mengatakan kalau aku memang dari Malaysia. Sentimen kebencian Indonesia-Malaysia membuatkanku menjadi ragu-ragu dengan setiap perkenalan dan perbualan.




Tetapi apa pun, berbanggalah dengan asal-usul. Maka kerana itu, "saya dari Malaysia, pak". Dan mereka mula bercerita tentang saudara-saudara mereka di sini, di Sarawak, di Kuala Lumpur. Tentang KLCC, dan semuanya yang baik-baik, yang manis-manis.

Dari Malioboro ke Magelang, menyelusuri lewat bukit dan polisi tidur yang berselang-seli memenuhi aspal, berteduh di pondok usang menunggu hujan teduh, dan melewati perkebunan, sawah dan ladang. Mendengar bingar anak-anak SD di Umbul Ponggok, dan menyaksikan program anak muda di atas Kalibiru. Masih Jogja tetap belum habis kulihat. Ia dan segala isinya adalah pelajaran sekaligus kenangan manis yang tak akan terlenyapkan.




Ada satu hal yang membuatkanku begitu ingin memeluk Tuhan dengan lebih erat. Kita juga tahu keberadaan Tuhan itu tidak cuma terhad di atas sejadah. Cari moment ini di dalam hidupmu--saat yang paling perlu kita hargai dan nikmati adalah saat kita bersendirian sambil memandang pemandangan yang luas dariNya.

Seliratmu akan terlerai, keserabutan akan ikut terurai satu persatu. Dan akhirnya kau tinggal mengikhlaskan. Kerana momentku itu terjadi di Jogja, maka langit Jogjakarta menjawab setiap pertanyaan-pertanyaanku.



Ia mengajarku menghargai kehilangan-kehilangan serta mengikhlaskan semuanya. Jauh dari rumah tidak akan pernah terasa jika ia adalah Jogja. Sampai bila pun aku tidak mungkin bisa bangun dari jatuh cinta sama Jogjakarta.

Mungkin ini cuma hadiah kecil untuk sekian banyak pengingat bahawa kenangan sampai bila pun tetap tidak akan hilang dari ingatan.

Ini perjalanananku, mana perjalananmu?