Penyair yang diam-diam kusimpan namanya.

Tuan yang saya lihat berjalan di sebuah tempat asing yang tidak pernah saya mimpi untuk akhirnya berdiri di situ; selamat bertemu.


Aksi seorang barista membancuh kopi di meja belakang tuan yang tidak saya ketahui namanya tidak sedikit pun mengubah haluan mata saya menatap tuan yang sedang bercerita entah tentang apa atau siapa.


Beberapa oknum melihat kita dari atas benteng yang dibangun kerajaan Gowa-Tallo itu. Langit pula semakin ingin membunuh matahari. Sesusah payahnya saya cuba menjala fikiran saya yang ligat bekerja mencari semua kata di dunia untuk saya mulakan bicara menyapa tuan--tidak ada. Sempat saya angankan di antara kata yang tidak saya temukan tadi, kalau sayalah yang membaca sajak apa pun di petang itu semata hanya untuk mendekat dengan tuan.




Waktu berbolak-balik melempar tuan meggurita di sekeliling saya. Sebentar jarak kita cuma sejengkal, sesaat tuan hilang dari pandangan mata saya.


Keramaian memudar perlahan seiring pertembungan mata kita. Tuan tidak mengenali saya, dan saya juga baru mengetahui yang itulah pemilik wajah penyair kegemaran saya yang selama ini saya kagumi puisi-puisinya. Akhirnya tuan telah saya sapa walau cuma meminjam suara dari teman saya. Ketahuilah, langkah mula meminta tanda tangan itu telah pun mematikan beberapa tanda tanya.


Sisanya saya mohon kita bawa demi sastera.